Sabtu, 05 September 2009

Kontrol Psoriasis dengan Terapi Biologis

Pasien psoriasis begitu akrab dengan obat. Padahal, selama ini, pengobatan itu belum ada yang membawa pada kesembuhan. Dari pengobatan oles, penyinaran, obat telan, hingga yang teranyar terapi biologis. Semua terapi itu cuma menekan efek buruk dari penyakit peradangan pada kulit tersebut. Paling umum memperbaiki kondisi kulit dan mengurangi rasa gatal. Namun, untuk mempertahankan kondisi dan mengontrol munculnya komplikasi, obat tidak bisa dilepaskan.

Guru besar Departemen Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Profesor Benny Effendy Wiryadi SpKK (K), menyebutkan penekanannya dalam kasus psoriasis bagaimana obat membuat kualitas hidup mereka menjadi lebih baik. Ia menjelaskan, obat-obat yang tersedia memang bukan menyembuhkan, melainkan mengontrol psoriasis sehingga bisa mengalami remisi lebih lama.

"Remisi pada penderita psoriasis itu bergantung pada pengobatan apa yang dipakainya," kata Benny pada media edukasi mengenai psoriasis di Hotel Sahid Jakarta beberapa waktu lalu. Saat presentasi, ia memaparkan bahwa pengobatan itu bergantung pada bentuk klinis, luas keparahan penyakit, dan lokasi lesi--keadaan jaringan yang abnormal pada tubuh--penderita.

Biasanya pilihan pertama berupa pengobatan topikal atau oles. Namun, harus dilakukan berulang kali dilakukan agar bekerja efektif. Benny mengakui semua obat luar (salep oles) cepat menyembuhkan, tapi mudah juga memicu kekambuhan. "Remisinya pendek," ujarnya. Tidak cuma itu, pengobatan ini juga kerap meninggalkan bekas pada kulit. Juga butuh waktu lama apabila peradangannya sangat banyak pada tubuh. Pada pasien kategori ringan, terapi ini cukup efektif mengontrol gejala psoriasis.

Terapi berikutnya menggunakan penyinaran (fototerapi). Pasien dengan kondisi peradangan luas adalah kandidat pengguna terapi ini. Dilakukan dengan bantuan sinar ultraviolet (UVB). Umumnya berefek terapetik yang baik pada penderita. Jadi, kalau bicara remisi, menurut Benny, yang paling panjang memang fototerapi. Sayangnya, sinar UVB itu, seperti diketahui, memiliki efek samping yang berbahaya.

Profesor kelahiran Jakarta ini mengatakan semakin panjang pengobatan dengan sinar UVB tersebut, pasien pun memiliki peluang terkena kanker kulit di kemudian hari. Karena itu, jenis terapi ini ada batasnya, meski Benny mengakui bahwa sampai saat ini belum ada laporan adanya pasien psoriasis yang terkena kanker kulit setelah menahun menggunakan fototerapi. "Tetapi kita tidak tahu jika orang disinar sekarang, 30 tahun kemudian keadaannya bagaimana."

Kemudian, ada obat sistemik (oral) yang dilakukan bila pengobatan secara topikal tidak memberi hasil. Terapi ini ditujukan kepada pasien psoriasis dengan kategori sedang. Sayangnya, terapi ini membuat si penderita tergantung pada obat. Ditambah efek samping yang berbahaya bagi tubuh si penderita. Namun, obat sistemik memiliki efek remisi cukup panjang. Remisinya bisa bertahan sampai setengah tahun hingga satu tahun. Namun, begitu obat dihentikan, deritanya kambuh lagi.

Yang teranyar adalah terapi biologis, yakni dengan injeksi. Terapi ini ditujukan bagi pasien psoriasis berat yang tidak merespons terapi sistemik atau terapi lain. Menurut ayah beranak dua itu, efek biologis bekerja selektif pada elemen spesifik sistem imun dalam tubuh penderita. Mereka menghambat aktivitas sel-sel kekebalan tertentu yang berperan dalam penyakit psoriasis.

Strategi dasar dari terapi ini adalah menghilangkan sel T patogenik, menghambat aktivasi selnya dan mengubah keseimbangan sitokin. Seperti diketahui, psoriasis adalah penyakit autoimun ketika sel T--sel kekebalan dalam tubuh--teraktivasi dan menghasilkan zat-zat mediator yang menyebabkan peradangan pada kulit.

Keuntungan dari terapi ini adalah efek sampingnya yang minim terhadap organ lain. Pasien pun tidak perlu saban hari minum obat. "Kalau dengan fototerapi, bisa hampir setiap hari," ujar Benny. Adapun remisi terapi ini bisa bertahan dua bulan hingga lebih, bahkan bisa sampai setengah tahun. Biologis dikatakan aman karena kerjanya yang selektif. Tetapi, Benny mengingatkan, sampai kini belum tahu efek jangka panjangnya.

Di Indonesia, belum ada data pasti jumlah penderita psoriasis. Menurut Benny, kalau ada belum tentu akurat. Meski begitu di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pasiennya mencapai 0,9 persen dari pasien baru yang berobat. Yang jelas, dari tahun ke tahun ada kecenderungan meningkat. Dibanding di luar negeri, penderita psoriasis di Indonesia relatif masih rendah. "Di sana angka kejadiannya mencapai 1 hingga 3 persen."

Penyakit ini sebenarnya dibedakan dua kelompok. Pasien berusia sebelum 40 tahun dan pasien di atas 40 tahun. Pasien yang di bawah 40 dari sejumlah literatur tercatat bahwa perjalanan penyakit psoriasisnya akan parah. Mereka berisiko tinggi terkena penyakit metabolis. Sedangkan pasien di atas 40 tahun biasanya jarang yang terkena psoriasis berkategori parah.

Menurut Benny, pasien psoriasis berusia muda kelainan genetiknya lebih banyak. Gen-gen yang abnormal ditemukan bisa mencapai 60 persen. Jadi kemungkinan anaknya terkena psoriasis lebih besar. Seperti diketahui kelainan genetik itu bisa diturunkan. "Orang yang membawa kelainan genetik ini sebaiknya cepat ditangani," Benny mengingatkan.

Pada dasarnya, semua orang berisiko menderita psoriasis. Psoriasis lebih banyak menyerang orang kulit putih. Di dunia ini, penyakit tersebut paling jarang ditemukan pada suku Eskimo. Sebab, mereka banyak memakan ikan salmon yang mengandung omega 3. Kandungan ini bagus untuk melawan peradangan. Yang jelas, psoriasis bukan penyakit infeksi dan tidak menular. Hanya psoriasis yang ditemukan pada penderita HIV/AIDS yang bisa menular. "Menularnya karena HIV," ujar Benny.

Pengobatan Ditentukan
1. Tipe psoriasis
2. Lokasinya di tubuh
3. Tingkat keparahan
4. Umur pasien dan sejarah medis
5. Respons pasien terhadap terapi sebelumnya
6. Jenis pengobatan psoriasis

- 11 Agustus 2009

Sumber :

Heru Triyono

http://www.tempointeraktif.com/hg/kesehatan/2009/08/11/brk,20090811-191919,id.html

6 September 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar