Sabtu, 05 September 2009

Ibnu Sina dan Terapi Puasa

KATA “Ramadan” dalam kamus bahasa Arab, Al-Mu’jamul Wasith, berasal dari kata “Romdhun” yang berarti “batu panas”. Islam lalu memasukkan kata “Ramadan” menjadi salah satu nama bulan dari 12 bulan dalam satu tahun (Hijriyah) atas dasar petunjuk yang tertera di dalam Al Quran dan Hadits. Saat itu, memang sangat panas yang bisa saja mencapai suhu 50 derajat Celcius sampai 60 derajat Celcius.

Secara ilmiah, bila suhu panas bumi seperti itu, sangat mempengaruhi suhu badan manusia, sehingga untuk menyeimbangkan kekuatan jasmani, menjaga kesehatan badan dan menurunkan tensi panas badan yang dipengaruhi oleh suhu panas bumi, umat Islam diperintahkan menjalankan kewajiban berpuasa Ramadan sebagai ‘tameng’ atau ‘perisai’ bagi kesehatan rohani serta berfungsi sebagai obat bagi kesehatan jasmani.

Realitasnya, puasa terbukti sebagai obat mujarab yang dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit jasmani dan rohani, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda : “Shuumuu Tashihhuu” (Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat !). “Bapak” dokter atau psikolog dunia, “Ibnu Sina” atau Avicenna (Persia, 980-1037) sering memanfaatkan puasa sebagai terapi penyembuhan dalam praktik pengobatannya bagi pasien yang menderita sejumlah penyakit jasmani ringan atau berat, bahkan penyakit rohani ‘kronis.’

Suatu ketika, Ibnu Sina didatangi pasien remaja ‘nakal’, masih tergolong keluarganya, yang mengalami obesitas (kegemukan) dan mengeluh kesulitan memikat hati wanita. “Paman, saya ingin menikahi seorang gadis yang saya cintai, tapi dia menolak lamaran saya,” keluhnya sambil terus mengunyah kacang “Sudan” kesukaannya.

Ibnu Sina tertawa lirih. ”Kamu harus ‘memeletnya’ dengan salat Malam (Qiyamul Lail) setiap hari dan berpuasa seperti puasanya Nabi Daud (sehari puasa sehari tidak) selama setahun. Juga ingat! Calon isteri kamu tidak suka kebiasaanmu makan kacang Sudan ini, maka jangan dimakan!”

Metode halus Ibnu Sina yang memberi nasihat kepada Kholid tidak mempergunakan bahasa ‘ceplas-ceplos’ yang makna sebenarnya: “Berdoalah dan kuruskan dulu badan kamu dengan berpuasa agar setiap gadis tidak menolakmu!”

Mengingat obsesi Kholid yang begitu besar untuk mendapatkan dambaan hatinya, dia mematuhi terapi ‘ajaib’ Ibnu Sina. Setiap malam, dia bangun mengerjakan salat Sunnah Qiyamul Lail, siang harinya berpuasa sebagaimana puasanya Nabi Daud, dan tidak mau lagi memakan kacang Sudan.

Seminggu sebelum tepat satu tahun, wanita yang diidam-idamkan Kholid meninggal dunia lepra (turunan). Kholid yang sudah terlihat kurus, tapi sehat, kembali mengeluh. “Paman, dia meninggal”. Ibnu Sina mengambil napas dalam-dalam dan berucap,”Kholid, mengingat gadis yang kamu cintai sudah wafat, sekarang terserah kamu, apakah kamu akan kembali pada kebiasaan burukmu? Atau kamu akan mengalihkan cintamu kepada Tuhanmu yang telah menyayangimu dengan tidak menikahkan kamu dengan gadis itu?”
Kholid menangis sambil menjawab,“Paman, Tuhan telah memberi saya kesembuhan rohani dan jasmani setelah bertahun-tahun saya merasa sakit. Saya akan tetap menjalankan terapi salat dan puasa untuk mencurahkan cinta saya kepada Tuhan.”
Terapi Puasa
Ibnu Sina adalah sosok dokter jasmani dan psikolog rohani yang telah menjadi teladan bagi segenap dokter dan psikolog dunia. Resep pengobatannya tidak melulu obat herbal atau kimia. Justru Ibnu Sina sering menelaah sejumlah rutinitas ibadah seperti salat dan puasa yang sengaja diperintahkan Tuhan untuk dijalankan sebagai kewajiban normatif.
Lalu, mengapa Tuhan memerintahkan kita salat dan puasa? Apa hikmah di balik perintah wajib salat dan puasa itu? Sejumlah pertanyaan ‘misterius’ senantiasa muncul dari ‘benak’ Ibnu Sina. Akhirnya, sampailah dia pada sebuah kesimpulan medis yang tidak lagi terbantahkan. Bahwa sejumlah ibadah mahdhoh (fardlu) semisal puasa dapat dijadikan sebagai penawar (obat) penyakit dengan seizin Tuhan.
Pola pemikiran Ibnu Sina yang menjadikan puasa sebagai terapi medis diadopsi para dokter untuk mengobati beberapa penyakit yang diderita sejumlah pasien. Seperti penyakit maag misalnya. Obat tradisional versi ibnu Sina yang jitu adalah dengan terapi “puasa”.

Fakta riilnya, orang yang memiliki maag akut (kronis) dapat disembuhkan dengan cara berpuasa secara rutin. Bahkan, orang yang suka berpuasa seperti puasanya Nabi Daud, dijamin tidak akan terkena penyakit maag atau penyakit lambung lainnya.

Nah, untuk menghilangkan ketergantungan terhadap obat kimia yang diduga dapat menyembuhkan penyakit maag atau lambung, sebaiknya dicoba dulu menerapinya dengan berpuasa Ramadhan selama satu bulan penuh, lalu dilanjutkan dengan puasa Sunnah Senin-Kamis setiap minggu sehabis Ramadan. Penyakit maag atau lambung lainnya dijamin hilang.

Sekali lagi, terapi puasa dipraktikkan bagi pasien yang akan menjalani operasi. Ahli medis modern yang menangani operasi kanker atau tumor, dipastikan tidak akan gegabah membedah bagian badan pasien untuk mengeluarkan kanker atau tumor sebelum pasien diperintahkan dulu untuk berpuasa praoperasi.

Bahkan, penulis pernah membaca di dalam sebuah surat kabar terbitan Mesir “Al-Qohiriyah,” seorang dokter menganjurkan siapa saja yang menderita penyakit kambuhan, yang belum ditemukan obat penyembuhnya, semisal liver, diabetes (kencing manis) dan batuk asma, sebaiknya menjadikan puasa Nabi Daud sebagai terapinya selama enam bulan, serta berpantang.

Yang pasti, apapun obat atau terapi dari dokter kepada pasien, belum tentu menyembuhkan. Maka, benarlah kata dokter Yusuf Qordlowi,“Minum obat-obatan bukanlah solusi menyembuhkan penyakit, tapi keyakinan kuat kita kepada Tuhanlah yang dapat menyembuhkan penyakit kita. Obat hanyalah sebagai sarana, Tuhan tetaplah yang menyembuhkan segala macam penyakit.” - 1 September 2009


Sumber :

Ulfatun Ni’mah Ichwan
Guru agama MTs Nurul Huda Kalanganyar, Sidoarjo, alumnus IAIN Sunan Ampel Surabaya

http://www.surya.co.id/2009/09/01/bnu-sina-dan-terapi-puasa.html

6 September 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar